DownloadBuku Puisi Sapardi, Hujan Bulan Juni Gratis. October 21, 2013. Sapardi Djoko Damono adalah seorang legenda dalam dunia sastra. Berbagai karyanya -terutama puisi - telah berhasil menjadi penghias sekaligus penggerak masyarakat Indonesia. Kata-katanya indah membangkitkan logika, sambil tetap membuat rasa berdebar.
Jakarta - Sastrawan besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono meninggal dunia, Minggu 19/7/2020. Kabar duka wafatnya Sapardi Djoko Damono ramai di jagat media sosial seperti Instagram dan Twitter. Satu di antara ungkapan duka datang dari penulis muda, Fiersa Besari. Melalui akun Twitternya, Fiersa Besari menuliskan duka sekaligus patah hati terdalam atas meninggalnya Sapardi Djoko Damono. Jelang Timnas Indonesia Vs Argentina Jordi Amat Siap Tempur, Pratama Arhan Malah Cedera Jadwal Lengkap Pertandingan BRI Liga 1 2023 / 2024 Rapor 7 Pemain Bernomor 10 di Liverpool Sadio Mane Terdahsyat, Bagaima Nasib Alexis Mac Allister? "Selamat jalan, Eyang Sapardi Djoko Damono. Jasamu abadi, seiring karya sastramu yang meninggalkan pengaruh besar untuk generasi setelahmu. Patah hati terdalam dari kami," tulis Fiersa Besari. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan seorang pujangga ternama di Indonesia. Sapardi Djoko Damono banyak melahirkan karya-karya yang menjadi populer. Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain, Duka-Mu Abadi 1969, Mata Pisau 1974, Perahu Kertas 1983, Sihir Hujan 1984, Hujan Bulan Juni 1994, Arloji 1998, Ayat-ayat Api 2000, Mata Jendela 2000, dan masih banyak lagi. Melalui karya-karyanya, Sapardi Djoko Damono juga banyak mendapat penghargaan-penghargaan besar baik dari dalam maupun luar negeri. Di sisi lain, awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang saat kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada UGM. Dalam tulisan-tulisannya Sapardi Djoko Damono kerap meluncurkan puisi-puisi indah. Tentu banyak puisi karya Sapardi Djoko Damono yang mempunyai tempat tersendiri di hati para penggemarnya. Berikut ini redaksi tampilkan, kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, seperti dilansir dari Minggu 19/7/2020.1. Hujan Bulan Junitak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu2. Aku InginAku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 19893. Hatiku Selembar DaunHatiku selembar daun melayang jatuh di rumput; Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput; Sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap Yang Fana Adalah WaktuYang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu. Kita abadi. 19785. Pada Suatu Hari NantiPada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya HanyaHanya suara burung yang kau dengar dan tak pernah kaulihat burung itu tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kaurasa dan tak pernah kaulihat angin itu tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini dan tak pernah kaulihat siapa aku tapi yakin aku ada dalam dirimu7. Sajak Kecil Tentang CintaMencintai angin harus menjadi siut Mencintai air harus menjadi ricik Mencintai gunung harus menjadi terjal Mencintai api harus menjadi jilat Mencintai cakrawala harus menebas jarak Mencintai-Mu harus menjelma aku8. Menjenguk Wajah di KolamJangan kau ulang lagi menjenguk wajah yang merasa sia-sia, yang putih yang pasi itu. Jangan sekali- kali membayangkan Wajahmu sebagai rembulan. Ingat, jangan sekali- kali. Jangan. Baik, Akulah Si Telagaakulah si telaga berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja — perahumu biar aku yang menjaganya. 198210. Dalam DirikuDalam diriku mengalir sungai panjang Darah namanya; Dalam diriku menggenang telaga darah Sukma namanya; Dalam diriku meriak gelombang sukma Hidup namanya! Dan karena hidup itu indah Aku menangis sepuas-puasnya. Sumber GasBanterBerita Video Spotlight 5 Pesepak Bola Top Dunia yang Gagal di Barcelona Termasuk Philippe Coutinho
1020 Analisis Puisi Sapardi Djoko Damono "Cermin 1" dengan Pendekatan Semiotika Nurgiyantoro, B. (2013). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pirmansyah, P., Anjani, C., & Firmansyah, D. (2018). Analisis Semiotik dalam Puisi "Hatiku Selembar Daun" Karya Sapardi Djoko Damono. Parole (Jurnal Pendidikan Bahasa
Menghimpun kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono paling menyentuh. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, sastrawan kebanggaan Indonesia yang dikenal dengan tulisan-tulisannya yang sederhana namun mengandung makna yang sama sekali tidak sederhana. Orang-orang sudah mengenalnya sebagai sastrawan sebelum dirinya masuk kuliah. Salah satu sajaknya yang ia buat waktu 17 tahun sudah dijadikan sebagai sajak wajib pada pertemuan Kesenian Nasional Indonesia sampai tiga kali. Usianya kini 79 tahun, lahir 20 Maret 1940. Meski usianya telah memasuki masa-masa pensiun, ia masih tetap aktif menulis dan mengajar di program pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Baca juga Kumpulan Contoh Puisi mBeling dari Seniman dan Penyair Ternama Kumpulan Puisi dari Sang Maestro Pemilihan kata yang sederhana, namun memiliki makna yang mendalam. Butuh berapa kali pengulangan untuk bisa memahami kata-kata sang maestro walaupun sebenarnya ia bilang bahwa puisi bukan untuk dipahami, tapi dihayati. Dalam puisinya, ia seringkali menggunakan nuansa alam untuk menghidupkan kata demi kata. Hujan, alam, daun, bunga, pagi, dan malam tak lepas dari perhatiannya sebagai inspirasi. Ia katakan “Perkara alam, zaman dulu memang tidak ada apa-apa kan? Saya kenal alam di situ, karena tempat tinggal saya di desa dan keluar masuk kampung bersama seorang teman yang akrab pada masa dulu. Jadi saya betul-betul memerhatikan alam.” Puisi-puisinya juga telah banyak dijadikan objek musikalisasi puisi yang sebagian oleh mantan-mantan mahasiswanya di UI seperti Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu sehingga menjadikannya semakin populer di kalangan anak muda. Jika kamu tertarik atau menggemari dunia sastra, maka kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono ini tak semestinya dilewatkan. Selamat terenyuh! Baca juga Kumpulan Puisi Pendek dari Para Penyair Terkenal yang Menginspirasi 1. Aku Ingin2. Hatiku Selembar Daun3. Hujan Bulan Juni4. Yang Fana Adalah Waktu5. Pada Suatu Hari Nanti6. Kuhentikan Hujan7. Hanya8. Menjenguk Wajah di Kolam9. Sajak Kecil Tentang Cinta10. Sajak Tafsir11. Kita Saksikan12. Akulah Si Telaga13. Hujan Dalam Komposisi, 114. Hujan Dalam Komposisi, 215. Hujan Dalam Komposisi, 316. Metamorfosis17. Sajak Putih18. Dalam Diriku19. Ayat-Ayat Tokyo20. Kenangan21. Ruang Tunggu22. Sementara Kita Saling Berbisik23. Tentang Matahari24. Ia Tak Pernah25. Pertanyaan Kerikil yang Goblok26. Gerimis Jatuh27. Di Restoran28. Dalam Doaku29. Kepada Istriku30. Atas Kemerdekaan 1. Aku Ingin Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 1989 2. Hatiku Selembar Daun Hatiku Selembar Daun Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput; Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput; Sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi. 3. Hujan Bulan Juni Hujan Bulan Juni tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu 4. Yang Fana Adalah Waktu Yang Fana Adalah Waktu Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi. 1978 5. Pada Suatu Hari Nanti Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti, Jasadku tak akan ada lagi, Tapi dalam bait-bait sajak ini, Kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti, Suaraku tak terdengar lagi, Tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti, Impianku pun tak dikenal lagi, Namun di sela-sela huruf sajak ini, Kau tak akan letih-letihnya kucari. 6. Kuhentikan Hujan Kuhentikan Hujan Kuhentikan hujan Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan Ada yang berdenyut dalam diriku Menembus tanah basah Dendam yang dihamilkan hujan Dan cahaya matahari Tak bisa kutolak Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga 7. Hanya Hanya Hanya suara burung yang kau dengar dan tak pernah kaulihat burung itu tapi tahu burung itu ada di sana Hanya desir angin yang kaurasa dan tak pernah kaulihat angin itu tapi percaya angin itu di sekitarmu Hanya doaku yang bergetar malam ini dan tak pernah kaulihat siapa aku tapi yakin aku ada dalam dirimu 8. Menjenguk Wajah di Kolam Menjenguk Wajah di Kolam Jangan kau ulang lagi menjenguk wajah yang merasa sia-sia, yang putih yang pasi itu. Jangan sekali- kali membayangkan Wajahmu sebagai rembulan. Ingat, jangan sekali- kali. Jangan. Baik, Tuan. 9. Sajak Kecil Tentang Cinta Sajak Kecil Tentang Cinta Mencintai angin harus menjadi siut Mencintai air harus menjadi ricik Mencintai gunung harus menjadi terjal Mencintai api harus menjadi jilat Mencintai cakrawala harus menebas jarak Mencintai-Mu harus menjelma aku 10. Sajak Tafsir Sajak Tafsir Kau bilang aku burung? Jangan sekali-kali berkhianat kepada sungai, ladang, dan batu. Aku selembar daun terakhir yang mencoba bertahan di ranting yang membenci angin. Aku tidak suka membayangkan keindahan kelebat diriku yang memimpikan tanah, tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku ke dalam bahasa abu. Tolong tafsirkan aku sebagai daun terakhir agar suara angin yang meninabobokan ranting itu padam. Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat untuk bisa lebih lama bersamamu. Tolong ciptakan makna bagiku, apa saja — aku selembar daun terakhir yang ingin menyaksikanmu bahagia ketika sore tiba. 11. Kita Saksikan Kita Saksikan kita saksikan burung-burung lintas di udara kita saksikan awan-awan kecil di langit utara waktu itu cuaca pun senyap seketika sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya di antara hari buruk dan dunia maya kita pun kembali mengenalnya kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia 1967 12. Akulah Si Telaga Akulah Si Telaga akulah si telaga berlayarlah di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja — perahumu biar aku yang menjaganya. 1982 13. Hujan Dalam Komposisi, 1 Hujan Dalam Komposisi, 1 Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan? Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang. “Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya. 1969 14. Hujan Dalam Komposisi, 2 Hujan Dalam Komposisi, 2 Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apa yang kita harapkan? Hujan juga terjatuh di jalan yang panjang, menusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan. Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan, Selamat tidur. 1969 15. Hujan Dalam Komposisi, 3 Hujan Dalam Komposisi, 3 dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan 1969 16. Metamorfosis Metamorfosis Ada yang sedang menanggalkan kata-kata yang satu demi satu mendudukkanmu di depan cermin dan membuatmu bertanya tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu menimbang-nimbang hari lahirmu mereka-reka sebab-sebab kematianmu ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu. 17. Sajak Putih Sajak Putih Beribu saat dalam kenangan Surut perlahan Kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh Sewaktu detik pun jatuh Kita dengar bumi yang tua dalam setia Kasih tanpa suara Sewaktu bayang-bayang kita memanjang Mengabur batas ruang Kita pun bisu tersekat dalam pesona Sewaktu ia pun memanggil-manggil Sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil Di luar cuaca 18. Dalam Diriku Dalam Diriku Dalam diriku mengalir sungai panjang Darah namanya; Dalam diriku menggenang telaga darah Sukma namanya; Dalam diriku meriak gelombang sukma Hidup namanya! Dan karena hidup itu indah Aku menangis sepuas-puasnya. 19. Ayat-Ayat Tokyo Ayat-Ayat Tokyo /1/ angin memahatkan tiga panah kata di kelopak sakura– ada yang diam-diam membacanya /2/ ada kuntum melayang jatuh air tergelincir dari payung itu; “kita bergegas,” katanya /3/ kita pandang daun bermunculan kita pandang bunga berguguran kita diam berpandangan /4/ kemarin tak berpangkal, besok tak berujung– tak tahu mesti ke mana angin menyambut bunga gugur itu /5/ lengking sakura– tapi angin tuli dan langit buta /6/ menjelma burung gereja menghirup langit dalam-dalam– angin musim semi 20. Kenangan Kenangan /1/ Ia meletakkan kenangannya dengan sangat hati-hati di laci meja dan menguncinya memasukkan anak kunci ke saku celana sebelum berangkat ke sebuah kota yang sudah sangat lama hapus dari peta yang pernah digambarnya pada suatu musim layang-layang /2 / Tak didengarnya lagi suara air mulai mendidih di laci yang rapat terkunci. /3 / Ia telah meletakkan hidupnya di antara tanda petik 21. Ruang Tunggu Ruang Tunggu ada yang terasa sakit di pusat perutnya ia pun pergi ke dokter belum ada seorang pun di ruang tunggu beberapa bangku panjang yang kosong tak juga mengundangnya duduk ia pun mondar-mandir saja menunggu dokter memanggilnya namun mendadak seperti didengarnya suara yang sangat lirih dari kamar periksa ada yang sedang menyanyikan beberapa ayat kitab suci yang sudah sangat dikenalnya tapi ia seperti takut mengikutinya seperti sudah lupa yang mana mungkin karena ia masih ingin sembuh dari sakitnya 22. Sementara Kita Saling Berbisik Sementara Kita Saling Berbisik sementara kita saling berbisik untuk lebih lama tinggal pada debu, cinta yang tinggal berupa bunga kertas dan lintasan angka-angka ketika kita saling berbisik di luar semakin sengit malam hari memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi. 1966 23. Tentang Matahari Tentang Matahari Matahari yang ada di atas kepalamu itu Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil, adalah bola lampu yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kauterima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata “Ini matahari! Ini matahari!” – Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayangmu itu. 1971 24. Ia Tak Pernah Ia Tak Pernah ia tak pernah berjanji kepada pohon untuk menerjemahkan burung menjadi api ia tak pernah berjanji kepada burung untuk menyihir api menjadi pohon ia tak pernah berjanji kepada api untuk mengembalikan pohon kepada burung 25. Pertanyaan Kerikil yang Goblok Pertanyaan Kerikil yang Goblok “Kenapa aku berada di sini?” tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki, merontokkan beberapa lembar daun mangga, menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat, dan sejenak membuat lengkungan yang indah di udara, lalu jatuh di jalan raya tepat ketika ada truk lewat di sana. Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban dan malah bertanya kenapa; ada saatnya nanti,entah kapan dan di mana, ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata, “Mengganggu saja!” 26. Gerimis Jatuh Gerimis Jatuh Gerimis jatuh kaudengar suara di pintu Bayang-bayang angin berdiri di depanmu Tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata Menjelma malam, tak ada yang di sana Tak usah; kata membeku, Detik meruncing di ujung Sepi itu Menggelincir jatuh Waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu. 27. Di Restoran Di Restoran Kita berdua saja Duduk Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput Kau entah memesan apa Aku memesan batu Di tengah sungai terjal yang deras Kau entah memesan apa Tapi kita berdua saja Duduk Aku memesan rasa sakit yang tak putus Dan nyaring lengkingnya, Memesan rasa lapar yang asing itu 28. Dalam Doaku Dalam Doaku Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara Ketika matahari mengambang diatas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun disana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku Aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu 29. Kepada Istriku Kepada Istriku Pandanglah yang masih sempat ada pandanglah aku sebelum susut dari Suasana sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara terpantul di dinding-dinding gua Pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia langit mengekalkan warna birunya bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata 1967 30. Atas Kemerdekaan Atas Kemerdekaan Kita berkata jadilah dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya langit dan badai tak henti-henti di tepinya cakrawala terjerat juga akhirnya kita, kemudian adalah sibuk mengusut rahasia angka-angka sebelum Hari yang ketujuh tiba sebelum kita ciptakan pula Firdaus dari segenap mimpi kita sementara seekor ular melilit pohon itu inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah *** Baca juga Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar yang Menginspirasi Karya-karya Pak Sapardi memang tak lekang oleh waktu. Meski usia sudah kian senja, puisi-puisinya tetap digandrungi anak-anak muda. Sebagian memang berkat musikalisasi puisi oleh mantan-mantan mahasiswanya. Itulah kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang kita rangkum dari beberapa sumber. Karyanya yang bejibun tak mungkin ditimbun dalam satu halaman situs. Ini cuma sekelumit, maka lanjutkan dengan membaca buku-bukunya … Semoga menginspirasi!
kumpulanpuisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. B. METODE Metode merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Peneliti dapat memilih salah satu dari berbagai metode yang ada sesuai dengan tujuan, sifat, objek, sifat ilmu, atau teori yang mendukungnya. Sukmadinata dalam (Septiaji & - Meninggalnya sastrawan, Sapardi Djoko Damono meninggalkan kesedihan bagi masyarakat Indonesia. Sapardi Djoko Damono dikabarkan menghembuskan napas terakhirnya di usia ke-80, Minggu 19/7/2020 sekira pukul WIB. Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini kerap melahirkan puisi-puisi yang romantis dan menyentuh hati. Yang Fana adalah Waktu menjadi satu dari beberapa puisi romantis karya Sapardi yang sangat populer. Baca Sastrawan Sapardi Djoko Damono Tutup Usia, Jenazahnya Dimakamkan Minggu Sore di Bogor Bahkan puisi karyanya yang berjudul Hujan Bulan Juni diangkat ke layar lebar. Pujangga Sapardi Djoko Damono ikut berpartisipasi dalam Konser Gitaris Indonesia Peduli Negeri Musik dan Syair Solidaritas, di Bentara Budaya Jakarta, Kamis 11/10/2018. Lebih dari 60 gitaris Indonesia, musisi dan seniman ikut berpatisipasi dalam konser yang diadakan untuk mengumpulkan donasi bagi korban gempa di Sulawesi Tengah dan Lombok. Selain musik serta puisi, dalam acara tersebut juga diadakan lelang gitar, donasi puisi, serta workshop pembuatan tempe yang juga ditujukan untuk donasi. TRIBUNNEWS/HERUDIN TRIBUNNEWS/HERUDIN Berikut tujuh puisi cinta karya Sapardi Djoko Damono paling romantis dan menyentuh hati yang dikutip dari 1. Aku Ingin “Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiada” Puisi Aku Ingin menjadi salah satu karya Sapardi yang beralih wahana menjadi lagu, atau biasa disebut musikalisasi puisi. 2. Pada Suatu Hari Nanti “Pada suatu hari nanti,jasadku tak akan ada lagi,tapi dalam bait-bait sajak ini,kau tak akan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti,suaraku tak terdengar lagi,tapi di antara larik-larik sajak ini. Kau akan tetap kusiasati,pada suatu hari nanti,impianku pun tak dikenal lagi,namun di sela-sela huruf sajak ini,kau tak akan letih-letihnya kucari.”

ABSTRAKMar'atul Dini Latif Mahmudah. K1215031. ANALISIS KAJIAN STILISTIKA BUKU KUMPULAN PUISI PERIHAL GENDIS KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER SERTA RELEVANSINYA DENGAN BAHAN AJAR MENULIS PUISI DI SEKOLAH MENENGAH ATAS. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei 2019.

MANUSKRIP PUISIHUJANBULANJUNI Sapardi Djoko DamonoHujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono GM 050 PT. Grasindo, Jl. Palmerah Selatan 28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All rights reserved Diterbitkan pertama kali oleh penerbit PT. Grasindo, Anggota IKAPI, Jakarta, 1994 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan KDT ISBN 979-553-467-XManuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 2PENGANTAR Sajak-sajak dalam buku ini saya pilih dari sekian ratus sajak yang saya hasilkanselama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sajak saya pertama kali dimuat diruangan kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada tahun 1957, sewaktu saya masihmenjadi murid SMA; Namun, ini tidak berarti bahwa ratusan sajak yang ditulis selama 1957-1964 tidak saya pertimbangkan untuk buku ini. Sajak-sajak itu tidak dipilih mungkin sekalikarena saya pikir lebih sesuai untuk dikumpulkan di buku lain, yang suasananya – atau entahapanya – agak berbeda dari buku ini. Ini berarti bahwa ada juga sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku. Saya sendiri tidak tahu apakah selama 30 tahun itu ada perubahan stilistik dan tematikdalam puisi saya. Seorang penyair belajar dari banyak pihak keluarga, penyair lain, kritikus,teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas, Koran, telecisi, dan sebagainya. Pada dasarnya,penyair memang tidak suka diganggu, namun sebenarnya ia suka juga, mungkin secarasembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca. Itulah yang merupakan tanda bahwa iatidak hidup sendirian saja di dunia; itulah pula tanda bahwa puisi yang ditulisnya benar-benarada. Sebagian besar sajak-sajak dalam buku ini pernah terbit dalam ebberapa kumpulansajak, sejumlah sajak pernah dimuat di Koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernahdipublikasikan. Hampir dua tahu lamanya saya mempertimbangkan penerbitan buku ini,bukan karena sajak-sajak saya berceceran dan sulit dilacak, tetapi karena saya sukameragukan keuntungan yang mungkin bias didapat oleh pembaca maupun penerbit buku ini. Dalam hal terakhir itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada Eneste dari penerbit PT Grsindo yang tidak jemu-jemu meyakinkan saya akanperlunya menerbitkan serpihan sajak ini. Terima kasih tentu saja saya sampaikan juga kepadasiapa pun yang telah memberi dan merupakan ilham bagi sajak-sajak ini, tentang apalagipuisi kalau tidak tentang mereka, manusiaJakarta, Juni 1994Sapardi Djoko Damono Catatan Diketik ulangnya sajak-sajak ini dimaksudkan sebagai buah kecintaan dan rasa kagum saya pada karya-karya penyair Indonesia Bapak Sapardi Djoko Damono. Dan juga sebagai upaya penyediaan sarana pembelajaran sastra bagi siapa pun. Penulisan ulang ini diupayakan mengikuti rancang bangun puisi-pusi tersebut dan memiminalisir kesalahan ketik. Mohon, untuk tidak menghapus catatan ini sebagai pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang. Terima kasih. Kritik dan saran soal manuskrip ini kirimkan ke [email protected]Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 3DAFTAR ISI 4PengantarPada Suatu MalamTentang Seorang Penjaga Kubur yang MatiSaat Sebelum BerangkatBerjalan di Belakang JenazahLanskapHujan Turun Sepanjang JalanKita SaksikanDalam SakitSonet Hei! Jangan KaupatahkanZiarahDalam Doa IDalam Doa IIDalam Doa IIIKetika Jari-jari Bunga TerbukaSajak PerkawinanGerimis Kecil di Jalan Jakarta, MalangKupandang Kelam yang MErapat ke Sisi KitaBunga-bunga di HalamanPertemuanSonet XSonet YJarakHujan Dalam Komposisi, 1Hujan Dalam Komposisi, 2Hujan Dalam Komposisi, 3Varisai pada Suatu PagiMalam Itu Kami di SanaDi Beranda Waktu HujanKartu Pos Bergambar Taman Umum, New YorkNew York, 1971Dalam Kereta Bawah Tanah, ChicagoKartu Pos Bergambar Jembatan “Golden Gate”, San FransiscoJangan CeritakanTulisan di Batu NisanMata PisauTentang MatahariBerjalan ke Barat Waktu Pagi HariCahaya Bulan Tengah MalamNarcissusCatatan Masa Kecil, 1Catatan Masa Kecil, 2Catatan Masa Kecil, 3AkuariumSajak, 1Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoSajak, 2 5Di Kebun BinatangPercakapan Malam HujanTelur, 1Telur, 2Sehabis Suara GemuruhMuaraSepasang Sepatu TuaDi Banjar Tunjuk, TabananSungai, TabananKepada I Gusti Ngurah BagusBola LampuPada Suatu Pagi HariBunga, 1Bunga, 2Bunga, 3Puisi Cat Air untuk RizkiLirik untuk Lagu PopTiga Lembar Kartu PosSandiwara, 1Sandiwara, 2Lirik untuk Imporvisasi JazzYang Fana adalah WaktuTuanCermin, 1Cermin, 2Dalam DirikuKuhentikan HujanBenihDi Tangan Anak-anakDi Atas BatuAngin, 3Cara Membunuh BurungSihir HujanMetamorfosisPerahu KertasKami bertigaTelingaAku InginSajak-sajak Empat SeuntaiDi RestoranDalam Doa’kuPada Suatu Hari NantiSita SihirBatuMautHujan, Jalak dan Daun JambuAjaran HidupTerbangnya BurungManuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoPada Suatu Malam 6ia pun berjalan ke barat, selamat malam, solo,katanya sambil didengarnya sendiri suara sepatunyasatu lampu-lampu ini masih menyala buatku, gambar-gambar yang kabur dalam cahaya,hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadahkemudian sambil menarik nafas panjangia sendiri saja, sahut menyahut dengan malam,sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautanyang memberontak terhadap adalah minuman keras, beberapa orang membawa perempuanbeberapa orang bergerombol, dan satu-dua orangmenyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon sejuta mata itu memandang ke arahku, pun berjalan ke barat, merapat ke masa malam, gereja, hei kaukah anak kecilyang dahulu duduk menangis di depan pintuku itu?ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari nataldalam gereja itu, dengan pakaian serba baru,bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekalibertemu yesus, tapi ayahnya bilangyesus itu anak tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai malam ini yesus mencariku, ia belum pernah berjanji kepada siapa pununtuk menemui atau ditemui;ia benci kepada setiap kepercayaan yang berjalan sendiri di antara orang didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,tapi tak pernah mengetahuiawal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapabarangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang sendiri; ia merasa seperti tenteramdengan jawabannya sendiriia adalah doa yang tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya,lupa wajahnya berdoa sambil berjalan…ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri,tak bisa menemukan kata puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damonoia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir 7tentang dosa; ia selalu akan pingsankalau berpikir tentang mati dan hidup tuhan seperti kepala sekolah, pikirnyaketika dulu ia masih di sekolah rendah. barangkali tuhanakan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal,membiarkannya bergelandangan dimakan tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga,pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal ia juga pernah berdosa, tanyanya ketika berpapasandengan seorang perempuan. perempuan itu setangkai bunga;apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkalipernah juga dikeluarkan dari sekolahnya malam, langit, apa kabar selama ini?barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya…ia pernah membenci langit dahulu,ketika musim kapal terbang seperti burungmenukik dan kemudian ledakan-ledakansaat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoadan terbawa pula namanya sendirikadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara sajake tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dinginia ingin lekas kawin, membangun tempat pernah merasa seperti si pandir menghadapiangka-angka…ia pun tak berani memandang dirinya sendiriketika pada akhirnya tak ditemukannya suatu saat seorang gadis adalah bunga,tetapi di lain saat menjelma sejumlah angkayang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang tkut membayangkan dirinya sendiri, ia pun ingin lolosdari lampu-lampu dan suara-suara malam hari,dan melepaskan genggamannya dari kenyataan;tetapi disaksikannya berjuta orang sedang berdoa,para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan,orang-orang sakit, orang-orang penjara,dan barisan panjang orang terkejut dan berhenti,lonceng kota berguncang seperti sedia kalarekaman senandung duka perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan tak tahu kenapa mesti karena wajah perempuan itu mengingatkannyakepada sebuah selokan, penuh dengan cacing;barangkali karena mulut perempuan ituManuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damonomenyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanyaseperti gula-gula yang dikerumuni beratus ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk siapa gerangan tuhan berpihak, menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiriatau membawa perempuan, atau bergerombol,wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal,wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman,wajah-wajah yang ia cinta dan ia sama mereka mengangguk padaku, pikirnya;barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisahatau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke malam. ia mengangguk, entah kepada siapa;barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah doa yang panjang,dan sunyi adalah minuman merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;ia pun hidup adalah doa yang….barangkali sunyi adalah….barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat1964Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 8TENTANG SEORANG PENJAGA KUBURYANG MATIbumi tak pernah membeda-bedakan, seperti ibu yang baik. diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang, pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek – sama kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. ia seorang tua yang rajin membersihkan rumputan, menyapu nisan, mengumpulkan bangkai bunga dan daunan; dan bumi pun akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat, atau pendeta, atau seorang yang acuh-tak-acuh kepada bumi, akhirnya semua membusuk dan lenyap, yang mati tanpa gendering, si penjaga kubur ini, pernah berpikir apakah balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah kupelihara dengan baik; barangkali sebuah sorga atau am punan bagi dusta-dusta masa mudanya. tapi sorga belum pernah terkubur dalam bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yang dingin, tak pernah menolak atau menanti, tak akan pernah membuat janji dengan tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 9SAAT SEBELUM BERANGKATmengapa kita masih juga bercakaphari hampir gelapmenyekap beribu kata diantara karangan bungadi ruang semakin maya, dunia purnamasampai tak ada yang sempat bertanyamengapa musim tiba-tiba redakita di mana. waktu seorang bertahan di sinidi luar para pengiring jenazah menanti1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 10BERJALAN DI BELAKANG JENAZAHberjalan di belakang jenazah angina pun redajam mengerdiptak terduga betapa lekassiang menepi, melapangkan jalan duniadi samping pohon demi pohon menundukkan kepaladi atas matahari kita, matahari itu jugajam mengambang di antaranyatak terduga begitu kosong waktu menghirupnya1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 11SEHABIS MENGANTAR JENAZAHmasih adakah yang akan kautanyakantentang hal itu? hujan pun sudah selesaisewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakapdi bawah bunga-bunga menua, matahari yang senjapulanglah dengan paying di tangan, tertutupanak-anak kembali bermain di jalanan basahseperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauhbarangkali kita tak perlu tua dalam tanda Tanyamasih adakah? alangkah angkuhnya langitalangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kitaseluruhnya, seluruhnya kecuali kenanganpada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 12LANSKAPsepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tuawaktu hari hampir lengkap, menunggu senjaputih, kita pun putih memandangnya setiasampai habis semua senja1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 13HUJAN TURUN SEPANJANG JALANhujan turun sepanjang jalanhujan rinai waktu musim berdesik-desik pelankembali bernama sunyikita pandang pohon-pohon di luar basah kembalitak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tibaatas pesan yang rahasiatatkala angina basah tak ada bermuat debutatkala tak ada yang merasa diburu-buru1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 14KITA SAKSIKANkita saksikan burung-burung lintas di udarakita saksikan awan-awan kecil di langit utarawaktu cuaca pun senyap seketikasudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnyadi antara hari buruk dan dunia mayakita pun kembali mengenalnyakumandang kekal, percakapan tanpa kata-katasaat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 15DALAM SAKITwaktu lonceng berbunyipercakapan merendah, kita kembali menanti-nantikau berbisik siapa lagi akan tibasiapa lagi menjemputmu berangkat berdukadi ruangan ini kita gaib dalam gema. di luar malam harimengendap, kekal dalam rahasiakita pun setia memulai percakapan kembaliseakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 16SONET HEI! JANGAN KAUPATAHKANHei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga ituia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya yang tuayang telah mengenal baik, kau tahu,segala perubahan akar-akar yang sabar menyusup dan menjalarhujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakardan mekarlah bunga itu perlahan-lahandengan gaib, dari rahim saksikan saja dengan telitibagaimana matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diammembunuhnya dengan hati-hati sekalidalam Kasih-sayang, dalam rindu-dendam Alam;lihat ia pun terkulai perlahan-lahandengan indah sekali, tanpa satu keluhan1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 17ZIARAH 18Kita berjingkat lewatjalan kecil inidengan kaki telanjang; kita berziarahke kubur orang-orang yang telah melahirkan sampai terjaga mereka!Kita tak membawa apa-apa. Kitatak membawa kemenyan atau pun bungakecuali seberkas rencana-rencan kecilyang senantiasa tertunda-tunda untukkita sombongkan kepada akan kita jumpai wajah-wajah bengis,atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad merekadi sana? Tidak, mereka hanya batang-batang cemara yang menusuk langityang akar-akarnya pada bumi kita belum pernah mengenal mereka;ibu-bapak kita yang mendongengtentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu,tanpa menyebut-nyebut hanyalah mimpi-mimpi kita,kenangan yang membuat kita merasapernah berziarah; berjingkatlah sesampaidi ujung jalan kecil inisebuah lapangan terbuka batang-batang cemara ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga;mereka telah tidur sejak abad pertama,semenjak Hari Pertama ada tulang-belulang tak ada sisa-sisajasad mereka. Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebakkita dalam dongengan tangan kita berkas-berkas rencana,di atas kepala sang puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoDALAM DOA Ikupandang ke sana Isyarat-isyarat dalam cahayakupandang semestaketika Engkau seketika memijar dalam Kataterbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suarakemudian daun bertahan pada tangkainyaketika hujan tiba. Kudengar bumi sedia kalatiada apa pun diantara Kita dinginsemakin membara sewaktu berembus angina1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 19DALAM DOA IIsaat tiada pun tiadaaku berjalan tiada –gerakan, serasaisyarat Kita pun bertemusepasang Tiadatersuling tiada-gerakan, serasanikmat Sepi meninggi1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 20DALAM DOA IIIjejak-jejak Bunga selalu; betapa tergodakita untuk berburu, terjundi antara raung warnasebelum musim menanggalkan daun-daunakan tersesat di mana kitaterbujuk jejak-jejak Bunga nantinya atauterjebak juga baying-bayang Cahayadalam nafsu kita yang risau1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 21KETIKA JARI-JARI BUNGA TERBUKAketika jari-jari bunga terbukamendadak terasa betapa sengitcinta Kitacahaya bagai kabut, kabut cahaya; di awan hari ini di bumimeriap sepi yang purba;ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagidis ayap kupu-kupu, di sayap warnaswara burung di ranting-ranting cuaca,bulu-bulu cahaya betapa parahcinta Kitamabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 22SAJAK PERKAWINANcahaya yang ini, Siapakah?kelopak-kelopak malamberguguran kaki langit yang kaburdalam kamar, dalam Persetubuhanbutir demi butirKau dan aku, akudan serbuk malam tergelincirmenyatuPerkawinan tak di mana pun, takkapan punkelopak demi kelopak terbukamalam pun sempurna1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 23GERIMIS KECILDI JALAN JAKARTA, MALANGseperti engkau berbicara di ujung jalanwaktu dingin, sepi gerimis tiba-tibaseperti engkau memanggil-manggil di kelokan ituuntuk kembali berdukauntuk kembali kepada rindupanjang dan cemasseperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampusupaya menyahutmu, Mu1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 24KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITAkupandang kelam yang merapat ke sisi kita;siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tibamalam berkabut seketika; barangkali menjemputkubarangkali berkabar penghujan itukita terdiam saja di pintu; menungguatau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu;kenalkah ia padamu, desakmu kemudian sepiterbata-bata menghardik berulang kalibaying-bayangnya pun hampir sampai di sini; janganucapkan selamat malam; undurlah pelahanpastilah sudah gugur hujandi hulu sungai itu; itulah Saat itu, bisikkukukecup ujung jarimu; kau pun menatapkubunuhlah ia, suamiku kutatap kelam itubaying-bayang yang hampir lengkap mencapaikulalu kukatakan mengapa Kau tegak di situ1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 25BUNGA-BUNGA DI HALAMANmawar dan bunga rumputdi halaman; gadis yang kecildunia kecil, jari begitukecil menudingnyamengapakah perempuan suka menangisbagai kelopak mawar, sedangrumput liar semakin hijau swaranyadi bawah sepatu-sepatumengapakah pelupuk mawar selaluberkaca-kaca; sementara tangan-tangan lembuthampir mencapainya wahai, meriaprumput di tubuh kita1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 26PERTEMUANperempuan mengirim air matanyake tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulanke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantallembut bagai bianglalalelaki tak pernah menolehdan di setiap jejaknya melebat hutan-hutan,hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang mataharikeras dan fanadan serbuk-serbuk hujantiba dari arah mana saja cadarbagi rahim yang terbuka, udara yang jenuhketika mereka berjumpa. Di ranjang ini1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 27SONET Xsiapa menggores di langit birusiapa meretas di awan lalusiapa mengkristal di kabut itusiapa mengertap di bunga layusiapa cerna di warna ungusiapa bernafas di detak waktusiapa berkelebat setiap kubuka pintusiapa terucap di celah kata-katakusiapa mengaduh di baying-bayang sepikusiapa tiba menjemputku berburusiapa tiba-tiba menyibak cadarkusiapa meledak dalam diriku siapa Aku1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 28SONET Ywalau kita sering bertemudi antara orang-orang melawat ke kubur itudi sela-sela suara birubencah-bencah kelabu dan unguwalau kau sering kukenangdi antara kata-kata yang lama tlah hilangterkunci dalam baying-bayangdendam remangwalau aku sering kau sapadi setiap simpang cuacahijau menjelma merah menyaladi pusing jantra ku tak tahu kenapa merindutergagap gugup di ruang tunggu1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 29JARAKdan Adam turun di hutan-hutanmengabur dalam dongengandan kita tiba-tiba di sinitengadah ke langit; kosong sepi1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 30HUJAN DALAM KOMPOSISI, 1 Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dan daun-daun bougencil basah yangteratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turundi selokan? Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, emmbayangkan rahasiadaun basah serta ketukan yang berulang. “Tak ada. Kecuali baying-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukanitu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik airmenggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akanmengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 31HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini. bercakap tentang Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 32HUJAN DALAM KOMPOSISI, 3dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan1969Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 33VARIASI PADA SUATU PAGIisebermula adalah kabut; dan dalam kabutsenandung lonceng, ketika selembar dauh luruh,setengah bermimpi, menepi ke bumi, luputkaudengarkah juga seperti Suara mengaduh?iidan cahaya yang membasuhmu pertama-tamabernyanyi bagi ca pung, kupu-kupu, dan bunga; Cahayayang menawarkan kicau burung susut tiba-tibapada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisaiiimenjelma baying-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentakketika seekor burung, menyambar ca pungSelamat pagi pertama bagi matahari, risau bergerak-gerakketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung1970Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 34MALAM ITU KAMI DI SANA“Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?” sebuah stasiundi dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peronmenyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnyameloncat, merapat ke Sepi. Barangkali sajakami sedang menanti kereta yang bisaa tibasetiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda;barangkali saja kami sekedar ingin berada di siniketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti;hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba;sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udarasementara baying-bayang putih di seluruh ruangan,“Tetapi katakana dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku kemari?”1970Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 35DI BERANDA WAKTU HUJANKau sebut kenanganmu nyanyian dan bukan matahariyang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkanwarna-warni bunga yang dirangkaikan yang menghapusjejak-jejak kaki, yang senantiasa berulangdalam hujan. Kau di “Ke mana pula burung-burung itu yang bahkantak pernah kau lihat, yang menjelma semacam nyanyian,semacam keheningan terbang; kemana pula suit daunyang berayun jatuh dalam setiap impian?”Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,yang perlahan mengendap di udara kau sebut cintamupenghujan panjang, yang tak habis-habisnyamembersihkan debu, yang bernyanyi di beranda kau duduksendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,menghindar dari pandangku; di mana pulaah, tidak!rinduku yang dahulu?”Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengarkepada hujan, sendiri,“Di manakah sorgaku itu nyanyianyang pernah mereka ajarkan padaku dahulu,kata demi kata yang pernah kau hapalbahkan dalam igauanku?” Dan kausebuthidupmu sore hari dan bukan siangyang bernafas dengan sengityang tiba-tiba mengeras di bawah matahari yang basah,yang meleleh dalam senandung hujan,yang puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 36KARTU POS BERGAMBARTAMAN UMUM, NEW YORKDi sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnyaduduk di bangku panjang, berkisahdengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnyaanggukmu; tak dikenalnya sopan-santun York yang senjakala, yang Hitam panggilannya,membayangkan diriny turun dari keretadari Selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuhdi atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 37NEW YORK, 1971Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah bajadan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampudan kaca. Langit hanya dalam batin kita,tersimpan setia dari lembah-lembah di mana kau dan akulahir, semakin biru dalam namamu. Tikungan demi tikunganwarna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjukkea rah kita, yang kemudian menjanjikanarah yang kaburke tempat-tempat yang dulu pernah adadalam mimpi kanak-kanak kita. Berjalanlah merapat temboksambil mengulang-ulang menyebut nama tempatdan tanggal lahirmu sendiri, sampai di persimpanganujung jalan itu, yang menjurus ke segala arahsambil menolak arah, ketika semakin banyak jugaorang-orang di sekitar kita, dan terasa bahwasepenuhnya sendiri. Kemudian bersiaplahdengan jawaban-jawaban kaudengarkah swara-swara itu?1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 38DALAM KERETA BAWAH TANAH, CHICAGO“Siapakah namamu?” Barangkali aku setengah tertidur waktu kau tanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjagaBaiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau Pak Guru yang mengajar anak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji? yang bisaa menghitung nafas kita, ketika seorang membayangkan sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang pertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo terjagaSeandainya -1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 39KARTU POS BERGAMBARJEMBATAN “GOLDEN GATE”, SAN FRANSISCOkabut yang likat dan kabut yang pupurlekat dan grimis pada tiang-tiang jembatanmatahari menggeliat dan kembali gugurtak lagi di langit! berpusing di pedih lautan1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 40JANGAN CERITAKANbibir-bibir bunga yang pecah-pecahmengunyah matahari,jangan ceritakan padaku tentang dinginyang melengking malam-malam – lalu mengembun1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 41TULISAN DI BATU NISANtolong tebarkan atasku baying-bayang hidup yang lindapkalau kau berziarah ke maritak tahan rasanya terkubur, megapdi bawah terik si matahari1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 42MATA PISAUmata pisau itu tak berkejap menatapmu;kau yang baru saja mengasahnyaberpikir; ia tajam untuk mengiris apelyang tersedia di atas mejasehabis makan malam;ia berkilat ketika terbayang olehnya urat puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 43TENTANG MATAHARIMatahari yang di atas kepalamu ituadalah balon gas yang terlepas dari tanganmuwaktu kau kecil, adalah bola lampuyang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-suratyang teratur kau terima dari sebuah Alamat,adalah jam weker yang berderingsaat kau bersetubuh, adalah gambar bulanyang dituding anak kecil itu sambil berkata“Ini matahari! Ini matahari!” –Matahari itu? Ia memang di atas sanasupaya selamanaya kau menghelabaying-bayangmu puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 44BERJALAN KE BARATWAKTU PAGI HARIwaktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakangaku berjalan mengikuti baying-bayangku sendiri yang memanjang di depanaku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan baying-bayangaku dan baying-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 45CAHAYA BULAN TENGAH MALAMaku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kacaadakah hujan sudah reda sejak lama?masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubacaterjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin dan fana1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 46NARCISSUSseperti juga aku namamu siapa, bukan?pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalamtetapi jangan saja kita bercintajangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelmaatau tunggu sampai angina melepaskan selembar daundan jatuh di telaga pandangmu berpendar, bukan?cemaskah aku kalau nanti air bening kembali?cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 47CATATAN MASA KECIL, 1 Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan tampak garis-garis patah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit danmengigau dan memanggil-manggil ibunya. Mereka bilang ada ular menjaga di dasarnya. Iamelemparkan batu ke dalam sumur mati itu dan mendengar suara yang pernah dikenalnyalama sebelum ia mendengar tangisnya sendiri yang pertama kali. mereka bilang sumur matiitu tak pernah keluar airnya. Ia mencoba menerka kenapa ibunya tidak pernah mempercayai puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 48CATATAN MASA KECIL, 2 Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernahmenyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam menerkam. Langit belumberubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda lautsehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angina dan ia kesal lalu menyepak sebutir yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya. Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalutersangkut pada angina dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan iamembayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungaitetapi mereka yang berjanji menemuinya ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Iamemperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanjimengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu menyaksikan butir-butir hujan mulaijatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkanmereka tiba-tiba menge pungnya dan melemparkannya ke air. Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. MASA KECIL, 3 49Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoIa turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di-luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan halitu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tigakali dan ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata “biar kututupjendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekaliperangainya?1971AKUARIUM 50Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono
SapardiDjoko Damono (20 Maret 1940 - 19 Juli 2020) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. (Indonesia) Kumpulan Puisi karya Sapardi Djoko Damono (Indonesia) Artikel tentang acara Puisi Cinta Sapardi Djoko Damono [pranala nonaktif permanen] dari Kompas Online, diakses 19 Februari 2008.
Peringatan Hari Buruh 1 Mei mengusung foto Marsinah. FOTO Republika KAKI BUKIT – Semua yang perjuangan dan peristiwa tragis menimpa Marsinah itu yang melahirkan karya seni. Menurut Goenawan Mohamad, apa yang dialami Marsinah adalah sebuah gambaran yang menyesakkan, tentang bagaimana seseorang yang memperjuangkan tuntutan yang bersahaja pada akhirnya tersangkut dengan masalah hak dasar hak untuk punya suara, hak untuk punya harapan, bahkan hak untuk punya jiwa dan badan. Kita tak tahu siapa yang membunuh Marsinah. Tapi kita tahu mengapa ia dibunuh. Ia seorang buruh yang mengais-ngais dari remah-remah dunia yang dikenalnya secara terbatas. Ia tidak punya pilihan lain. Ia bermaksud mengubah nasibnya. Menurut Ratna Sarumpaet, terlepas dari proses persidangan kasus Marsinah yang penuh teka-teki itu; terlepas dari kesedihan kita menyaksikan ketidakmampuan lembaga peradilan mengungkap kasus ini. Kematian perempuan ini bagaimana pun telah mengungkapkan pada kita dua hal. Scroll untuk membaca Scroll untuk membaca Satu, tentang kekerasan yang telah mencabik-cabik rahim dan merenggut nyawanya. Dua, tentang perjuangannya sebagai buruh industri menghadapi pihak pabrik yang mengeksploitasinya, serta pihak keamanan yang menekan dan menyudutkannnya. Dari kasus Marsinah selain Ratna Sarumpaet yang menuangkannya dalam naskah lakon atau teater ada juga Sapardi Djoko Damono yang menuangkannya dalam puisi. Sapardi menulis puisi berjudul “Dongeng Marsinah” butuh waktu tiga tahun lebih pada 1993- 1996 untuk menulisnya. Ada yang mengatakan, “Dongeng Marsinah” adalah salah satu puisi yang sarat dengan kritik sosial, juga ada menyebutnya sebagai bentuk luapan kemarahan sastrawan Sapardi Djoko Damono pada kasus pembunuhan Marsinah. Puisi “Dongeng Marsinah” ditulis Sapardi cukup panjang ada enam bagian. Pada bagian pertama menulis /1/ Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi, ia sangat cermat dan pasti /2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu. Persoalan tentang buruh seperi kasus Marsinah yang terjadi pada zaman Orde Baru adalah persoalan yang krusial yang sampai kini tak kunjung teratas. Persoalannya bukan sekedar urusan industrial, tetapi juga menyangkut persoalan lain seperti sosial, ekonomi, dan politik. Terhadap persoalan buruh tersebut Wiji Thukul yang buruh dan aktivis buruh menuangkan dalam puisi. Pada tahun 2014, terbit buku kumpulan lengkap puisinya yang berjudul “Nyanyian Akar Rumput.” Dalam puisinya berjudul “Suti” WijiThukul menampilkan potret seorang buruh bernama Suti yang sakit akibat “terisap” oleh beban pekerjaannya yang berat, namun ia tidak memiliki cukup uang untuk berobat karena upahnya sebagai buruh tidak mencukupi. Kemudian pada puisi berjudul “Leuwigajah” ia memotret buruh tenaga muda yang terus diperah, diisap darahnya, seperti buah disedot vitaminnya. Puisi berjudul, “Terus Terang Saja,” Wiji Thukul menyatakan kapitalis sebagai musuh bagi mereka kaum buruh. Menurut Debora Martini Wulu dan Ali Nuke Affandy dalam penelitian berjudul “Penindasan Buruh dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra,” 2019 menyebutkan, puisi ini mengkonotasikan kapitalis sebagai sesuatu yang terus-menerus memakan tetes-tetes keringat kaum buruh. Nasib buruh memang sangat memperihatinkan, jika tak ingin disebut mengenaskan. Kapitalisme yang terus tumbuh dengan subur menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Para pemilik modal yang banyak diantaranya adalah orang asing berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mempekerjakan buruh dengan upah yang rendah. Naskah lakon “Marsinah Nyanyian Bawah Tanah” karya Ratna Sarumpaet, puisi “Dongeng Marsinah” yang ditulis Sapardi Djoko Damono dan kumpulan puisi Wiji Thukul berjudul “Nyanyian Akar Rumput” adalah karya seni atau sastra yang membicarakan persoalan manusia. Antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Sastra dengan segala ekspresinya merupakan pencerminan dari kehidupan manusia. Adapun permasalahan manusia merupakan ilham bagi pengarang untuk mengungkapkan dirinya dengan media karya sastra atau seni. maspril aries marsinah dongeng marsinag sapardi djoko damono wiji thukul buruh marsinah ratna sarumpaet hari buruh SapardiDjoko Damono Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 68 tahun) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Beberapa karyanya : 1. Dukamu Abadi - (kumpulan puisi) 2.
Ilustrasi. Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, salah satunya Hujan Bulan Juni CNNIndonesia/Fajrian Jakarta, CNN Indonesia - Puisi Sapardi Djoko Damono memiliki tempat tersendiri di hati para penggemarnya. Meski beberapa puisinya sederhana dan singkat, tetapi karya-karyanya tersebut punya makna mendalam dan menyentuh hati. Salah satu puisi Sapardi yang terkenal berjudul Hujan Bulan Juni. Selain itu, masih ada beberapa karyanya yang tak lekang oleh waktu. Beberapa di antaranya adalah Duka-Mu Abadi, Yang Fana adalah Waktu, Perahu Kertas, Hatiku Selembar Daun, Sihir Hujan, Sajak Kecil tentang Cinta, dan masih banyak lagi. Sejumlah puisinya juga telah banyak digubah menjadi lagu atau dimusikalisasi sehingga membuatnya makin populer dikenal di kalangan anak muda. Puisi Sapardi Djoko Damono Ilustrasi. Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, salah satunya Hujan Bulan Juni CNN Indonesia/Safir Makki Dihimpun dari berbagai sumber, berikut kumpulan puisi dari sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini. 1. Duka-Mu Abadi Dukamu adalah dukakuAir matamu adalah air matakuKesedihan abadimuMembuat bahagiamu sirnaHingga ke akhir tirai hidupmuDukamu tetap abadi Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup iniBerbekalkan sejuta dukamuMengiringi setiap langkahkuMenguji semangat jitukuKarena dukamu adalah dukakuAbadi dalam duniaku! Namun dia datangMeruntuhkan segala penjara rasaMembebaskan aku dari derita iniDukamu menjadi sejarah silamDasarnya 'ku jadikan asasMembangunkan semangat baruBiar dukamu itu adalah dukakuTindakanku biarkan ia menjadi pemusnahku! 2. Sementara Kita Saling Berbisik Sementara kita saling berbisikuntuk lebih lama tinggalpada debu, cinta yang tinggal berupabunga kertas dan lintasan angka-angka Ketika kita saling berbisikdi luar semakin sengit malam harimemadamkan bekas-bekas telapak kaki,menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar Ada yang masih bersikeras abadi 3. Yang Fana adalah Waktu Kita abadi memungut detik demi detikmerangkainya seperti bungasampai pada suatu harikita lupa untuk apa "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamuKita abadi 4. Perahu Kertas Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertasdan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenangdan perahumu bergoyang menuju lautan. "Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu. Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit" 5. Hatiku Selembar Daun Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumputnanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di siniada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luputsesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi. 6. Sihir Hujan Hujan mengenal baik pohon, jalan,dan selokan - suaranya bisa dibeda-bedakan;kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu dan sudah kau matikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuhdi pohon, jalan dan selokan -menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduhwaktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan 7. Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiada 8. Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti,jasadku tak akan ada lagi,tapi dalam bait-bait sajak ini,kau tak akan kurelakan sendiri Pada suatu hari nanti,suaraku tak terdengar lagi,tapi di antara larik-larik sajak akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti,impianku pun tak dikenal lagiNamun di sela-sela huruf sajak ini,kau tak akan letih-letihnya kucari 9. Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Junidirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Junidihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Junidibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu 10. Sajak Kecil tentang Cinta Mencintai angin harus menjadi siutMencintai air harus menjadi ricikMencintai gunung harus menjadi terjalMencintai api harus menjadi jilat Mencintai cakrawala harus menebas jarakMencintaimu harus menjelma aku 11. Sajak Tafsir Kau bilang aku burung?Jangan sekali-kali berkhianatkepada sungai, ladang, dan batu. Aku selembar daun terakhiryang mencoba bertahan di rantingyang membenci angin. Aku tidak suka membayangkankeindahan kelebat dirikuyang memimpikan tanah,tidak mempercayai janji api yang akanmenerjemahkanku ke dalam bahasa abu. Tolong tafsirkan aku sebagai daun terakhiragar suara angin yang meninabobokanranting itu padam. Tolong tafsirkan aku sebagai hasratuntuk bisa lebih lama bersamamu. Tolong ciptakan makna bagiku,apa saja - aku selembar daun terakhiryang ingin menyaksikanmu bahagiaketika sore tiba. 12. Ia Tak Pernah Ia tak pernah berjanji kepada pohonuntuk menerjemahkan burungmenjadi api Ia tak pernah berjanji kepada burunguntuk menyihir apimenjadi pohon Ia tak pernah berjanji kepada apiuntuk mengembalikan pohonkepada burung Itulah kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang populer. Semoga bermanfaat! juh
X04Fj.
  • user36g46s.pages.dev/190
  • user36g46s.pages.dev/531
  • user36g46s.pages.dev/214
  • user36g46s.pages.dev/586
  • user36g46s.pages.dev/437
  • user36g46s.pages.dev/195
  • user36g46s.pages.dev/132
  • user36g46s.pages.dev/166
  • kumpulan puisi sapardi djoko damono pdf